TRANSFORMASI SYARI’AT ISLAM DALAM HUKUM NASIONAL Studi Pemikiran Prof. Yusril Ihza Mahendra
+ Free ShippingTRANSFORMASI SYARI’AT ISLAM DALAM HUKUM NASIONAL Studi Pemikiran
Prof. Yusril Ihza Mahendra
Penulis;
Ir. H. Mohammad Masduki
Jumlah halaman: 116
Ukuran Buku: A5 (14,8×21)
Versi Cetak: tersedia
Versi E-Book: Tersedia
Berat: 0 Kg
Harga: Rp. 75.000
Secara teoritis, ada perbedaan antara “hukum positif” dengan “hukum yang hidup”. Hukum positif (tertulis) disahkan keberlakuannya oleh negara berdasarkan prosedur yang ditentukan konstitusi atau aturan-aturan lain yang berlaku di suatu negara. Sehingga dapat dikatakan hukum positif adalah produk dari kekuatan-kekuatan politik yang melahirkannya. Sedangkan hukum yang hidup adalah hukum yang tersosialisasikan dan diterima oleh masyarakat secara persuasif, karena dianggap sesuai dengan kesadaran hukum dan keadilan.
Dilihat dari sejarah kerajaan-kerajaan Islam di Nusantara pada masa lampau, upaya untuk menerapkan ajaran-ajaran dan hukum Islam mendapat dukungan besar, baik dari kalangan para ulama’, penguasa politik, bahkan raja-raja dan para sultan Berbagai kitab hukum ditulis oleh para ulama’, kerajaan dan kesultanan pada masa tersebut dan juga telah menjadikan hukum Islam dibidang hukum keluarga dan hukum perdata sebagai hukum positif yang berlaku. Selain itu kerajaan juga membangun masjid besar di ibu kota negara.
Pada abad ke-17 Pelaksanaan hukum Islam juga dilakukan oleh para penghulu dan para kadi didaerah sekitar Batavia, masyarakat islam setempat mengangkat sendiri para penghulu dan para kadi apabila tidak terdapat kekuasaan politik formal yang mendukung pelaksanaan ajaran dan hukum Islam. Di pulau Jawa, masyarakat Jawa, Sunda, dan Banten mengembangkan hukum Islam melalui Pendidikan sebagai mata pelajaran penting di pondok-pondok pesantren.
Di masa sebelum kemerdekaan, dalam sidang BPUPKI tokoh-tokoh Islam menginginkan agar di negara Indonesia harus berdasarkan atas Ketuhanan dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya, seperti yang disepakati dalam Piagam Jakarta tanggal 22 Juni 1945, namun kalimat ini dihilangkan setelah terjadi keberatan dari para tokoh Indonesia bagian timur atas pemakaian kata tersebut. Hal ini disampaikan oleh seorang perwira angkatan Laut Jepang kepada Mohammad Hatta pada sore hari tanggal 17 Agustus 1945. Untuk menghindari perpecahan, keesokan harinya pada tanggal 18 Agustus 1945, sebelum sidang PPKI dimulai, Hatta mengadakan pembicaraan dengan tokoh-tokoh Islam, yakni KH Abdul Wahid Hasyim, Teuku Muhammad Hasan, dan Ki Bagus Hadikusumo tentang rencana perubahan kata-kata dalam Piagam Jakarta. Akhirnya ketiga tokoh tersebut menerima penghapusan tujuh kata menjadi Ketuhanan yang Maha Esa dan berlaku hingga saat ini.[2] Dengan melihat sejarah hukum Islam yang berkembang di Indonesia sejak dulu sudah seharusnya ajaran Islam menjadi sumber hukum dalam pembangunan hukum nasional
Reviews
There are no reviews yet.