NALAR GERAKAN ISLAM POLITIK Dari Diskursus, Reaktualisasi, dan Logika Islam Politik

+ Free Shipping

NALAR GERAKAN  ISLAM POLITIK

Dari Diskursus, Reaktualisasi, dan Logika Islam Politik

Penulis:

Hartono GS

Editor: Moh Suardi

Jumlah halaman: 285

Ukuran Buku: Unesco (15,5×23)

Versi Cetak: Tersedia

Versi Ebook: Tersedia

Berat: 0 Kg

harga: Rp. 135.000

 

berbagai dinamika termasuk di dalamnya gerakan islam politik, para ahli setidaknya menyebutkan adanya pasang surut pemahaman tentang konsep politik islam, namun tidak dengan konsep islam politik, untuk konsteks lokalitas Indonesia varian pemahaman islam politik kian berkembang dan bermertamorfosis hingga hari ini.

Untuk menuju itu semua dalam konstitusinya bangsa ini telah sepakat menjadikan negara ini sebagai negara hukum dengan ideologi[1] serta sistem demokrasi pancasilanya. Kedua aspek ini sangat berkaitan erat dimana hukum dijadikan panglima sedangkan demokrasi dijadikan sebuah sistem[2] yang dapat mengakomodir, memberi rasa kebebasan dalam berpikir, memberi hak-hak pada masyarakat yang minoritas (persamaan hak) atau dalam arti singkatnya demokrasi yang berupa suara/kedaulatan rakyat juga harus memiliki arti sebuah perjuangan haruslah bersandar pada perjuangan kerakyatan[3] atau berpihak kepada kaum lemah dan tertindas[4] bukan sebaliknya malah terjadi sebuah elitis-demoralisasi[5].

Dengan kesepakatan (konstitusi) bahwa negara ini menggunakan sistem demokrasinya, tentu menjadi sebuah wadah atau bejana yang maha besar dimana didalamnya tumbuh, hidup dan berkembang berbagai entitas berupa golongan, pemikiran, gerakan, organisasi, LSM-LSM, sampai dengan yang berbentuk aliran. Kenyataan ini adalah buah karya dari adanya sistem demokrasi yang ada saat ini dimana kran yang dulunya ditutup rapat-rapat pada masa Orba saat ini dimasa yang sering disebut reformasi dibuka dengan lebarnya.

Dari konsekuensi logis diatas maka lahir dan berkembanglah Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) dan Majelis Mujahidin Indonesia (MMI) dimana keduanya merupakan hasil dalam bejana besar yang bernama sistem demokrasi yang memberikan kebebasan dalam berpikir dan berserikat. Dan kalau ditelaah secara mendalam semangat serta perjuangan kedua organisasi atau gerakan Islam ini setidaknya dalam kontek keindonesiaan sudah ada sejak awal negara ini merdeka, hal ini terlihat dalam perjalanan sejarah perdebatan negara Islam atau penerapan syariah Islam sebagai dasar negara di Indonesia selalu menarik. Negara Islam dengan cara mempraktekkan syariat Islam[6] seolah menjadi primadona yang selalu ingin diperjuangkan untuk benar-benar terwujud oleh sebagian masyarakat dalam kehidupan berbangsa dan bernegara di bumi Indonesia[7] ini, baik itu pada awalnya melalui organisasi-organisasi kemasyarakatan, keagamaan ataupun gerakan politik[8] yang mengatasnamakan partai Islam, organisasi Islam, gerakan Islam dan masyarakat Islam.Hasyim Muzadi, dalam Pidato Politiknya “NU Masih di Tunggangi Kepentingan Partai Politik”, beliau menyatakan bahwa kehidupan politik demokrasi di Indonesia saat ini belum sepenuhnya dirasakan oleh rakyat, slogan demokrasi yaitu dari rakyat, oleh rakyat itu sudah dilaksanakan namun kepemimpinan untuk rakyatlah yang belum sama sekali dilaksanakan (pemerintah) dan dirasakan (rakyat), dilain waktu beliaupun menegaskan bahwa demokrasi di indonesia saat ini ibarat demokrasi bagi sembako saja, karena para elit politik dan wakil rakyat hanya mementingkan diri dan golongannya saja tanpa pernah memikirkan masyarakat yang memilihnya.  (Harlah NU ke 82 di Stadion Gelora Bung Karno, Jawapos 3 Februari 2008).penelitian Azumardi Islam masuk ke nusantara setidaknya ada tiga perdebatan yang cukup serius yakni mengenai tempat kedatangan Islam, para pembawanya dan waktu kedatangannya, dari ketiga teori tersebut  penyusun melihat pada para pembawa Islam ke nusantaralah yang dititik beratkan, menurut Hikayat Raja-raja Pasai (ditulis 1350) pertama, pembawa Islam ke nusantara adalah seorang Syaikh Isma’il datang dari Makah lewat Malabar ke Pasai, kedua menurut Tarsilah Islam dibawa lewat Filipina pada abad ke 8/14 yang dibawa oleh seorang Arab bernama Syarif Awliya’ Karim Al-Makhdum. Dari data ini penyusun melihat bahwa para pembawa ajaran Islam di nusantara ketika itu adalah murni untuk berdakwah dan tidak berkeinginan untuk mendirikan negara dengan berdasarkan syariat Islam, ini artinya dalam perspektif sejarah bangsa dan negara ini dalam arti sempit secara eksplisit tidak berkeinginan mendirikan atau mendasarkan pada agama tertentu dengan melihat berbagai dinamika, serta keadaan yang ada

Islam dari segi bahasanya berasal dari kata aslama, yuslimu, islam yang bermakna “tunduk dan patuh” atau pasrah dalam bahasa Nurcholis Madjid, namun pengertian “pasrah” yang disampaikan oleh Nurcholis Madjid dibantah oleh Didin Hafifudin yang memaknai Islam adalah “tunduk, patuh dan ikhlas”.Namun ternyata Mohamed Arkoun memaknai Islam berbeda dari keduanya, yakni Islam adalah sukarela dengan merasakan getaran cinta kepada Allah dengan rasa ingin menyandarkan diri pada apa yang diperintahkannya.Sedangkan pengertian lain Islam adalah agama yang diturunkan oleh Allah Swt kepada Nabi Muhammad Saw sebagai agama yang membebaskan umatnya dari segala bentuk kejahiliyaan, baik itu berbentuk kejahiliyahan prilaku, pendidikan, politik, budaya dan juga akidah, konsep dasar ini setidaknya banyak dipahami oleh mayoritas umat Islam yang ada, walaupun banyak pula ahli atau ulama memberi pemaknaan tentang Islam yang sangat berbeda-beda pula.  Didin Hafifudin, makalah dalam buku, Menggugat Gerakan Pembaharuan Islam; Debat Besar Pembaharuan Besar, menurut Didin pengertian Islam sebagai agama yang pasrah sangatlah tidak memiliki dasar dalam khasanah penafsiran Islam (Jakarta: Lembaga Studi Informasi Pembangunan, Junni 1995),

 

Category:

Reviews

There are no reviews yet.

Be the first to review “NALAR GERAKAN ISLAM POLITIK Dari Diskursus, Reaktualisasi, dan Logika Islam Politik”

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Shopping Cart